Untuk Berlangganan Gratis

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Kenali Penyakit KAWASAKI Sejak Dini!

4 Juli 2005. Tiba-tiba suhu tubuh Grace Oktavia Tanus panas
tinggi hingga 40° C. Keesokannya tubuh bocah cilik berusia tujuh
tahun tersebut dipenuhi bercak-bercak merah. Grace juga sedikit
menderita batuk pilek.
   
    Ibunya, Asui (34), tentu saja khawatir. Pada hari kedua sakitnya
Grace dibawa ke rumah sakit yang dekat dengan rumah mereka di kawasan
Puri Indah, Jakarta Barat.
    Ternyata dokter yang biasa menangani Grace sedang seminar. Ia pun
ditangani dokter yang ada. Grace kemudian diberi obat, namun suhu
badannya tidak juga menurun. Hari ketiga badan Grace terasa gatal dan
bercak merah di tangan, kaki, dan tubuhnya semakin banyak. Grace pun
dibawa lagi ke dokter.
    Dengan kekhawatiran lebih besar, keesokan hari Asui menelepon ke
dokter langganannya. Setelah melihat kondisi Grace, dokter tersebut
menduga Grace terserang penyakit Kawasaki. Akan tetapi, dokter tidak
berani memastikannya karena harus melalui serangkaian tes lebih dulu.

Memburuk
    Hari kelima kesehatan Grace kian memburuk, tubuhnya lemas. Asui,
ibunya, dan Tony, ayahnya, memutuskan untuk memasukkan Grace ke rumah
sakit dekat rumahnya itu. Di rumah sakit dokter menyatakan ada flek
di paru-paru Grace, ada infeksi saluran kencing, dan dokter memberi
antibiotik yang banyak sekali.
    "Tapi panasnya tidak juga turun sampai akhirnya dokter bilang
itu bukan penyakit Kawasaki. Padahal saya lihat kulit di jari tangan
Grace sudah mengelupas. Grace lalu diambil darah lagi, di tes lagi.
Baru besoknya dokter bilang Grace positif terkena penyakit
Kawasaki," kata ibunya.
    Diagnosis tersebut dinilai sangat terlambat karena baru pada hari
ke-10 Grace dinyatakan terkena penyakit Kawasaki dan diberi obat.
    Setelah obat diberikan, suhu badan Grace yang tadinya sangat
panas menjadi normal kembali. Bercak merah di tubuhnya berangsur
menghilang. Namun karena keterlambatan diagnosis dan penanganannya,
penyakit Kawasaki sudah menyerang koroner jantung Grace.
    "Pembengkakan di koroner jantungnya besar. Pelan-pelan dari
ukuran normal 2 mm menjadi 11 mm," kata Asui.
    Tanggal 18 Juli 2005 Grace keluar dari rumah sakit dan tanggal 20
Juli 2005 ia masuk Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta hingga
tanggal 3 Agustus 2005.
    Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Grace ditangani oleh dua
dokter: dr Ganesja Harimurti dan spesialis anak (konsultan di bidang
kardiologi anak) dr Najib Advani SpA(K) MMed. Paed. Praktis selama
sebulan Grace dirawat di dua rumah sakit. "Biaya pengobatannya lebih
dari Rp 100 juta. Itu belum biaya berobat jalan," kata Asui.
    Kini seminggu sekali Grace harus menjalani ekokardiografi dan tes
darah.

Menjelajah internet
    Sebagai orangtua yang sangat awam tentang penyakit Kawasaki dan
sedikitnya referensi yang ada-apalagi ternyata banyak dokter anak
yang belum mengetahuinya-Asui dan Tony tidak tinggal diam. Mereka
pun menjelajah internet untuk mendapatkan informasi lebih lengkap.
    Penyakit Kawasaki memang masih belum dikenal oleh para dokter di
Indonesia walaupun sebetulnya sudah dijumpai sejumlah kasus penyakit
tersebut di sini. Penyakit Kawasaki atau sindrom Kawasaki pertama
kali ditemukan oleh Dr Tomisaku Kawasaki pada tahun 1967 di Jepang.
    Ia melaporkan 50 anak dengan demam akut disertai eksantema
(bercak-bercak merah di kulit) dan menegakkan diagnosisnya sebagai
mucocutaneus lymph node syndrome. Penyakit ini mulai dikenal luas di
luar Jepang sejak tahun 1974 setelah Kawasaki melaporkannya dalam
jurnal berbahasa Inggris.
    Penyakit yang terutama menyerang anak-anak di bawah usia lima
tahun ini menunjukkan gejala demam yang disertai dengan eksantem,
yang sepintas mirip dengan penyakit campak. Penyakit ini dapat
menimbulkan komplikasi ke jantung.
    Dari data ekokardiografi dan angiografi yang dipaparkan Dr Najib
Advani ApA(K) MMed dalam bukunya berjudul Mengenal Penyakit Kawasaki,
disebutkan bahwa pada 20-40 persen kasus penyakit Kawasaki yang tidak
diobati akan terjadi kelainan arteri koroner jantung dengan segala
konsekuensinya seperti trombosis koroner, stenosis koroner, dan
infark miokard yang dapat berakhir pada kematian.

Kematian
    Penyakit Kawasaki memang bisa membawa pada kematian. Kisah duka
itulah yang harus dialami oleh Emy, seorang dokter gigi yang bertugas
di sebuah puskesmas di Bekasi. Emy memiliki empat anak. Anaknya yang
paling bungsu, Elbert, meninggal tanggal 4 September 2005 pada usia
delapan bulan 10 hari.
    Elbert sempat keluar masuk rumah sakit hingga empat kali. Berawal
14 Juni 2005, panas badannya sangat tinggi dan oleh dokter anak yang
memeriksanya Elbert didiagnosis alergi. Esok hari, Emy membawanya ke
dokter lain dan tetap didiagnosis alergi, padahalnya bibirnya sudah
berwarna sangat merah.
    Hari kelima, selain panasnya tak kunjung turun, kulitnya mulai
muncul bercak-bercak seperti campak, bahkan pantat Elbert melepuh.
Akhirnya ia diopname di rumah sakit selama lima hari. "Dokternya
lalu menyuruh pulang, padahal saya tidak setuju karena dia masih
panas," kata Emy.
    Karena kemudian Elbert sesak napas dan masih panas, ibunya
membawa Elbert ke rumah sakit yang lain, RS Ongko Mulyo. Ia sempat
diopname dua kali, periode 16-21 Juli dan 10-11 Agustus 2005. Pada
opnamenya yang kedua kali di rumah sakit tersebut badan Elbert
bengkak setelah diinfus. Menurut dokter ada kebocoran pada katup
jantungnya.
    Elbert kemudian dipindahkan ke RS Jantung Harapan Kita tanggal 12
Agustus 2005. Ternyata ada gumpalan di pembuluh darah yang ke
jantung. Ia pun diberi obat antipembekuan darah. "Dia diberi terapi,
tapi detak jantungnya memang berantakan sekali, tidak teratur,"
tutur Emy. Namun akhirnya jiwa Elbert tetap tidak tertolong.

Mengikhlaskan
    Bagaimanapun Emy harus mengikhlaskan kepergian Elbert. Namun ia
tetap menyayangkan keterlambatan diagnosis penyakit Kawasaki yang
dialami anaknya. "Saya membawa Elbert ke banyak dokter, dan tidak
ada yang tahu kalau dia terkena penyakit Kawasaki," kata Emy.
    Emy menyesalkan kurangnya pengetahuan para dokter anak mengenai
penyakit Kawasaki yang umumnya menyerang balita ini. "Dokter anak
seharusnya bisa mengenal tanda-tanda penyakit Kawasaki sehingga bisa
menegakkan diagnosis," kata Emy. Sosialisasi penyakit Kawasaki saat
ini memang patut dilakukan agar masyarakat mengetahui gejala-gejala
penyakit tersebut. Karena memang hingga saat ini tidak diketahui
jelas apa penyebabnya dan bagaimana mencegahnya kecuali kita harus
meningkatkan kekebalan tubuh anak-anak supaya tidak mudah terserang
virus.
Dimuat di Kompas 23 September 2005
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

No comments:

Post a Comment

Bisnis 100% Tanpa Modal

Archive

Popular Posts