Kemudian, sejumlah ikan lokal dimasukkan ke bak kanan. Seketika, seperti dikomando, mereka segera menyerbu hendak memangsa ikan lokal tersebut. Tetapi ada daya, mereka hanya bisa menubruk kaca. Serbuan diulangi: Piranha menerkam ganas. Apa lacur, kali ini moncong-moncong mereka mulai penyok tertumbuk tembok kaca. 
Tidak jera, Piranha terus menyerbu, menyerbu, dan menyerbu sampai akhirnya bibir mereka jontor berdarah-darah. Pada titik itulah mereka kapok dan tak lagi berani menerkam. Pelan tapi pasti, mereka kehilangan agresivitasnya.
Sekian waktu kemudian, sesudah luka-luka Piranha itu sembuh, kaca pemisah dicabut. Aneh bin ajaib: mereka kehilangan naluri aslinya, tidak lagi spontan ganas menerkam. Malah mereka terlihat jinak bersama ikan- ikan lokal.

*****
Pembaca yang budiman, pengalaman buruk di masa lampau kerap menjadi kendala kita untuk bertumbuh dan berkembang. Kekecewaan, kegagalan, atau trauma membuat orang kapok, tidak berani lagi berinisiatif, kehilangan percaya diri, dan semangat juang anjlok. Akibat lebih serius: banyak orang kehilangan naluri alaminya. Daya hidupnya melemah. 
Kini, kaca pembatas sudah terangkat. Namun pengalaman buruk yang dulu masih saja menjadi gembok imajiner yang membelenggu. Betul, pengalaman-pengalaman itu harus kita maknai sebagai guru dan referensi untuk mengarungi realita dan maju. Yang tidak boleh: ia menjadi borgol yang mematikan inisiatif, kreativitas, keberanian, dan daya juang kita. 
Seberapa pahit pun masa lalu kita entah di bidang studi, keluaga, pekerjaan, atau bisnis; di mana kita menderita kerugian, kemalangan, atau kecelakaan—mari kita sadari bahwa itu semua hanyalah pengalaman lampau. Bijaklah oleh kerenanya, tapi tetaplah fokus dan penuh semangat ke depan.
Jadi, mari coba periksa, masih adakah kaca penghalang? Jangan-jangan sudah hilang. Jika demikian, berusahalah lagi. Yakinlah, jika selalu waspada, sadar dan bersahabat dengan lingkungan, mau memakai kecerdikan dan kecerdasan, maka kita bisa hidup sesungguh-sungguhnya, sepenuh-penuhnya, dengan semangat tinggi yang menjadi ciri asli kita. 
Ingatlah, saat masih kecil, kita rajin mengekspolarasi dunia sekeliling: berani memegang api, meraba moncong anjing, gagah melayang terbang, nekat membongkar barang-barang elektronik, perkasa menjungkirbalikkan tempat tidur, tidak takut bermain lumpur dan air. Ya, kita memeriksa apa saja di sekitar kita untuk mencari pengalaman. Kita jatuh bangun, tapi tidak kapok. Kita meringis dan menangis, tapi sebentar kemudian sibuk tertawa. Semua itu sangat penting karena dengan demikianlah kita menjadi manusia dan otentik. 
Maka jangan mau terhantui, apalagi terbelenggu, dengan pengalaman lampau yang pahit. Etos 1, yaitu etos rahmat mengajarkan bahwa hidup ini adalah berkah, termasuk semua pengalaman yang manis, asin, asam, tawar, kecut, getir, dan pahit. Percayalah, sesudah dan di balik semua pengalaman itu pasti muncul anugerah yang renyah. Bagai menghadapi buah durian: dari luar memang durinya tajam dan bisa melukai, tetapi kalau dengan tenang kita gunakan akal, lalu membelah durian dengan hati-hati, maka daging buah yang harum dan lezat segera ternikmati di lidah. 
Maka, inilah diktum Etos 1: di balik semua pengalaman buruk pun selalu terdapat rahmat yang segar. Inilah yang disebut rahmat terselubung. Mari menjadikannya sebagai modal untuk melangkah menjalani sukses. Jangan pernah kehilangan nikmat durian karena takut durinya. Jika harus tertusuk juga, biarin saja, jangan mau berhenti, tetapi sibaklah kulitnya lalu kulumlah daging buahnya yang lezat legit mewangi.
No comments:
Post a Comment